Minggu, 27 November 2016

TEROBOSAN PEMUDA DAN TENAGA KERJA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015




Indonesia adalah salah satu negara yang bergabung dalam Association of South East Asian Nation (ASEAN). ASEAN merupakan bentuk perhimpunan kerja sama negara-negara Asia Tenggara, yang berdirinya dilatar belakangi adanya berbagai persamaan bagi negara-negara Asia Tenggara.
Berbagai rangkaian kegiatan atau program-program yang sudah banyak dilakukan oleh ASEAN untuk memajukan negara-negara anggota ASEAN itu sendiri, termasuk Indonesia salah satunya. Tahun depan perekonomian Indonesia akan dihadapkan pada integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu, Indonesia juga dihadapkan pada kenyataan adanya kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi, transportasi, dan komunikasi. Faktor-faktor inilah yang mengantar Indonesia pada proses globalisasi ekonomi yang dari tahun ke tahun semakin banyak melibatkan negara-negara lain, baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang, baik di kawasan ASEAN maupun kawasan yang lebih luas, seperti APEC dan WTO.
Dengan terbukanya perekonomian ASEAN, maka aliran perdagangan barang dan jasa, investasi, dan perpindahan tenaga kerja antar negara ASEAN tidak ada lagi hambatannya. Hal ini akan memberikan peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pembangunan ekonomi semua negara yang tergabung, termasuk Indonesia.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi kurang lebih 500 juta penduduknya.
Mengingat besarnya potensi pasar yang ada di Indonesia, tentu sangat menggiurkan dari pasar negara lain. Selain itu, reputasi Indonesia sebagai salah satu negara yang paling besar penduduknya, serta dengan tingkat konsumsi yang tinggi tentunya secara siap atau tidak siap kita akan tetap masuk dalam wabah free trade zone. Akan tetapi, melihat kondisi angka pengangguran yang setiap tahunnya meningkat menandakan bahwa Sumber Daya Manusia di Indonesia masih jauh tertinggal.
Prioritas terpenting yang harus diperhatikan oleh Indonesia sendiri adalah mengunggulkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu bersaing dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Asing. Dalam hal peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) akan terlaksana dengan baik apabila pemerintah mampu bekerja sama dengan Pemuda dan Tenaga Kerja. Dinas Tenaga Kerja memiliki peranan yang sangat penting dalam hal meningkatkan mutu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Paling tidak, pemuda dan tenaga kerja yang siap kerja harus memiliki minimal 2 (dua) keahlian (skill) yang unggul, seperti menjahit, menenun, montir, tata boga, dll.
Selain keahlian dalam beberapa bidang kerja, pemuda dan tenaga kerja juga seharusnya memiliki keahlian dalam komunikasi, yakni keahlian bahasa. Hal ini tentunya akan memberikan kemudahan bagi pemuda dan tenaga kerja yang siap kerja apabila nantinya akan memilih untuk bekerja di luar negeri (negara anggota ASEAN). 
Tidak hanya dalam hal peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, Indonesia juga di tuntut untuk dapat memproduksi produk lokal yang mampu bersaing dengan produk luar negeri. Sehingga dalam hal ini lebih membutuhkan kreatifitas untuk dapat membuat produk yang lebih inovatif, tanpa mengurangi mutu kualitas dan kuantitas dari hasil produksi tersebut. Selain itu dalam pemasarannya, Pemerintah juga harus lebih aktif untuk memarakkan lagi program “cinta produk sendiri”, agar kegiatan usaha atau industri yang menghasilkan produk lokal dapat bersaing dengan kegiatan usaha atau industri asing.
Banyak tanggapan dari berbagai kalangan yang mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk menghadapi MEA. Ada banyak faktor yang harus diperhatikan, misalnya iklim usaha, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan indikator makro lainnya. Namun yang pasti, dengan MEA Indonesia juga mempunyai kesempatan yang sama dalam memposisikan diri sebagai pemasar maupun sebagai pasar. Siap atau tidak siap Indonesia sudah menyetujui diberlakukannya MEA, maka hal terpenting adalah bagaimana kedepannya Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain dan mampu memposisikan diri sebagai pemasar, bukan hanya sebagai pasar produk luar negeri. Masih ada kesempatan untuk membenahi, terutama yang terkait dengan daya saing produk dan Sumber Daya Manusia.

Penulis :           Nabella P. Rani, SH., MH
                        Tenaga Pengajar IP FISIP Universitas Abdurrab
 

PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIL DALAM KABINET CERDAS



 
Runtuhnya rezim orde baru, membuka gerbang reformasi yang seluas-luasnya. Rangkaian agenda reformasi dilaksanakan sebagai perwujudan dari “kemerdekaan” yang terbelenggu selama hampir 32 tahun.
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1999 telah menyebabkan banyak  perubahan di negeri ini, termasuk terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan kita. Setiapgagasan akan perubahan tersebut sudah dituangkan dalam amandemen I s/d IV UUD 1945.Perubahan-perubahan tersebut juga turut mempengaruhi struktur organ-organ negarasehingga tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama (UUD 1945 pra amandemen).
Banyak pokok pikiran baru yang diadopsi de dalam UUD 1945 itu. Empat diantaranyaadalah (a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan salingmelengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip ³
checks and
balances
´
(c) pemurnian sistem pemerintah presidensil; dan (d) penguatan cita persatuan dankeragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2
 Penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi semakin menegaskan letak kedaulatan yang sebenarnya di tangan rakyat. UUD 1945 memberikan kedudukan yangmutlak kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan sesungguhnya. Kekuasaan bahkanidealnya diselenggarakan bersama-sama dengan rakyat. Dalam sistem UUD 1945, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur 
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (
constitutional democracy
).Kedaulatan rakyat (
democratie
) Indonesia itu diselenggarakan secara langsung danmelalui sistem perwakilan. Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung diwujudkanmelalui dilakukan melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan danmemilih Presiden dan Wakil presiden. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat puladisalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak dan kebebasan berpendapat, hak ataskebebasan pers, hak atas kebebasan informasi, kebebasan pers, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi lainnya yang dijamin dalam Undang-UndangDasar.
Hal-hal tersebut pada akhirnya turut berimplikasi kepada perubahan sistem pemerintahansecara keseluruhan. Perubahan tersebut menyebabkan tiga hal yaitu: (a) Penegasan karakter  presidensil dalam sistem pemerintahan Indonesia dengan menempatkan Presiden sebagaifigur pilihan rakyat melalui pemilihan umum. (b) Perubahan kedudukan MPR dari lembagatertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, dengan kewenangan yang sangat terbatas. (c) penguatan peran dan kewenangan DPR dalam bidang legislasi dan pengawasan terhadapeksekutif.

Keinginan untuk menegaskan sistem presidensil sendiri sudah cukup lama. Hal inidisebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD 1945. Meskipun dikatakan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensil, namun pada kenyataannyasistem yang dianut adalah sistem campuran atau
q
uasi presidensil 
. Sebagaimana dikatakanoleh Sri Soemantri bahwa sistem pemerintahan RI berdasarkan UUD1945 memperlihatkansekaligus segi-segi sistem pemerintahan presidensil dan sistem parlementer atau sistemcampuran.
4
Hal ini disebabkan oleh pengaturan dalam UUD 1945 sendiri yang menyatakan bahwa presiden merupakan mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR

PENGARUH DEMOKRASI TERHADAP PERUBAHAN MEKANISME PEMILIHAN KEPALA DAERAH



Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia. Bukti realitasnya beberapa Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade. Masyarakat tentunya menghendaki agar negara dikelola dan diurus oleh pemerintahan yang baik. Alasannya sederhana, pemerintahan yang baik (good governance) senantiasa berbuat yang terbaik bagi rakyat dan bangsanya, yaitu berupaya memikirkan bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup lebih sejahtera dan bangsanya mempunyai martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa yang lain.
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan rakyat. Sehingga rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepala Daerah (RUU Pilkada) mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat yang pada akhirnya mengerucut pada pro dan kontra. Banyak pihak yang merasakan adanya kemunduran demokrasi jika Pemilihan Kepala Daerah di kembalikan ke Lembaga Perwakilan Rakyat. Hanya saja, seperti yang kita ketahui bahwa bentuk dari Demokrasi itu ada dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (Perwakilan).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengharuskan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui Lembaga Perwakilan Rakyat (tidak langsung). Rumusan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat merupakan tafsiran Pemerintah yang meniru sistem Pemilihan Presiden.
Beragam istilah demokrasi yang kita kenal, diantaranya adalah demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan.
Di kebanyakan negara demokrasi di dunia barat, pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi. Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, di anggap dengan agak akurat mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian disadari bahwa pemilu tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Dengan adanya wacana mengenai pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, membutuhkan perhatian yang sangat mendasar terhadap unsur politik dan hukum di Indonesia. Hal ini yang juga menimbulkan pro-kontra pada kalangan masyarakat. Alasan mengenai efesiensi waktu dan biaya di rasakan cukup masuk akal, mengingat kebanyakan Pemilihan Kepala Daerah saat ini selalu terjadi dua kali putaran.
Hanya saja perubahan mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut, “dirasakan” mengakibatkan terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat yang selama ini dilaksanakan sejatinya merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah, dan menjadi jawaban atas gagalnya proses Pemilihan Kepala Daerah yang selama ini dilakukan oleh DPRD. Sebab terjadinya money politics dalam proses Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sulit dihindari. Dengan adanya membeli suara lebih dari setengah anggota DPRD, calon yang bersangkutan akan terpilih menjadi Kepala Daerah. Jika demikian, maka Pemilihan Kepala Daerah tidak berbeda dengan proses lelang, siapa yang memberikan penawaran terbesar, dialah yang menang. Begitu juga dari sisi akuntabilitas, Kepala Daerah yang dipilih oleh beberapa gelintir anggota DPRD cenderung mendahulukan kepentingan pemilihnya ketimbang masyarakatnya.
Pesimisme seperti ini dapat dimaklumi mengingat selama ini banyak anggota DPRD yang tidak menyuarakan kepentingan rakyatnya atau menurut Katjung Maridjan telah terjadi pembajakan kekuasaan rakyat oleh sebagian wakilnya di DPRD. Lebih jauh pihak yang kontra juga menilai Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak mencerminkan kedaulatan rakyat. Karena masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi misi para calon Kepala Daerah mereka.
Mengenai pemilihan Kepala Daerah jika dikaitkan dengan Sila ke-4 Pancasila, maka pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD merupakan pilihan yang tepat. Indonesia merupakan salah satu negara yang ingin mengembangkan beberapa ciri khasnya (gotong royong dan musyawarah untuk mencapai  mufakat) dalam kehidupan bermasyarakat. Keinginan ini tercermin dalam pasang surutnya persepsi kita mengenai wewenang dan peran DPR mulai dari masa Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang, begitu juga dengan DPRD. Dengan alasan, selama ini semenjak Kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat, antara Legislatif dengan Eksekutif sering berjalan masing-masing. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui fungsi legislatif itu selain menjalankan fungsi legislator dan fungsi budgeter, juga menjalankan fungsi pengawasan yaitu mengawasi pelaksanaan yang dilakukan oleh Eksekutif.
Jalan atau tidaknya program yang dilakukan oleh eksekutif seharusnya dipertanggungjawabkan, namun apabila pertanggungjawaban itu tidak dipertanggungjawabkan ke DPRD maka DPRD tidak bisa menegur Eksekutif. Dengan alasan, jika Gubernur dipilih langsung oleh masyarakat maka pertanggungjawabannya kepada masyarakat.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang terus bergulir di masyarakat hendaknya dilakukan kajian secara mendalam, sejauh mana kesiapan masyarakat dan pemerintah untuk menyelenggarakannya. Mengingat partisipasi masyarakat yang masih sangat minim terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, apalagi hal ini merupakan pemilihan Kepala Daerah.
Penulis :           Nabella P. Rani, SH., MH
                        Tenaga Pengajar IP FISIP Universitas Abdurrab