Minggu, 27 November 2016

PENGARUH DEMOKRASI TERHADAP PERUBAHAN MEKANISME PEMILIHAN KEPALA DAERAH



Sejak lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Otonomi Daerah telah menjiwai ketatanegaraan Indonesia. Bukti realitasnya beberapa Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan, menyusul dan berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade. Masyarakat tentunya menghendaki agar negara dikelola dan diurus oleh pemerintahan yang baik. Alasannya sederhana, pemerintahan yang baik (good governance) senantiasa berbuat yang terbaik bagi rakyat dan bangsanya, yaitu berupaya memikirkan bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya dapat hidup lebih sejahtera dan bangsanya mempunyai martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa yang lain.
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas, bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan rakyat. Sehingga rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepala Daerah (RUU Pilkada) mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat yang pada akhirnya mengerucut pada pro dan kontra. Banyak pihak yang merasakan adanya kemunduran demokrasi jika Pemilihan Kepala Daerah di kembalikan ke Lembaga Perwakilan Rakyat. Hanya saja, seperti yang kita ketahui bahwa bentuk dari Demokrasi itu ada dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung (Perwakilan).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengharuskan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui Lembaga Perwakilan Rakyat (tidak langsung). Rumusan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat merupakan tafsiran Pemerintah yang meniru sistem Pemilihan Presiden.
Beragam istilah demokrasi yang kita kenal, diantaranya adalah demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan.
Di kebanyakan negara demokrasi di dunia barat, pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi. Hasil pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, di anggap dengan agak akurat mencerminkan partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian disadari bahwa pemilu tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Dengan adanya wacana mengenai pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, membutuhkan perhatian yang sangat mendasar terhadap unsur politik dan hukum di Indonesia. Hal ini yang juga menimbulkan pro-kontra pada kalangan masyarakat. Alasan mengenai efesiensi waktu dan biaya di rasakan cukup masuk akal, mengingat kebanyakan Pemilihan Kepala Daerah saat ini selalu terjadi dua kali putaran.
Hanya saja perubahan mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut, “dirasakan” mengakibatkan terjadinya kemunduran demokrasi di Indonesia. Dengan alasan pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat yang selama ini dilaksanakan sejatinya merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah, dan menjadi jawaban atas gagalnya proses Pemilihan Kepala Daerah yang selama ini dilakukan oleh DPRD. Sebab terjadinya money politics dalam proses Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sulit dihindari. Dengan adanya membeli suara lebih dari setengah anggota DPRD, calon yang bersangkutan akan terpilih menjadi Kepala Daerah. Jika demikian, maka Pemilihan Kepala Daerah tidak berbeda dengan proses lelang, siapa yang memberikan penawaran terbesar, dialah yang menang. Begitu juga dari sisi akuntabilitas, Kepala Daerah yang dipilih oleh beberapa gelintir anggota DPRD cenderung mendahulukan kepentingan pemilihnya ketimbang masyarakatnya.
Pesimisme seperti ini dapat dimaklumi mengingat selama ini banyak anggota DPRD yang tidak menyuarakan kepentingan rakyatnya atau menurut Katjung Maridjan telah terjadi pembajakan kekuasaan rakyat oleh sebagian wakilnya di DPRD. Lebih jauh pihak yang kontra juga menilai Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak mencerminkan kedaulatan rakyat. Karena masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi misi para calon Kepala Daerah mereka.
Mengenai pemilihan Kepala Daerah jika dikaitkan dengan Sila ke-4 Pancasila, maka pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD merupakan pilihan yang tepat. Indonesia merupakan salah satu negara yang ingin mengembangkan beberapa ciri khasnya (gotong royong dan musyawarah untuk mencapai  mufakat) dalam kehidupan bermasyarakat. Keinginan ini tercermin dalam pasang surutnya persepsi kita mengenai wewenang dan peran DPR mulai dari masa Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang, begitu juga dengan DPRD. Dengan alasan, selama ini semenjak Kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat, antara Legislatif dengan Eksekutif sering berjalan masing-masing. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui fungsi legislatif itu selain menjalankan fungsi legislator dan fungsi budgeter, juga menjalankan fungsi pengawasan yaitu mengawasi pelaksanaan yang dilakukan oleh Eksekutif.
Jalan atau tidaknya program yang dilakukan oleh eksekutif seharusnya dipertanggungjawabkan, namun apabila pertanggungjawaban itu tidak dipertanggungjawabkan ke DPRD maka DPRD tidak bisa menegur Eksekutif. Dengan alasan, jika Gubernur dipilih langsung oleh masyarakat maka pertanggungjawabannya kepada masyarakat.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang terus bergulir di masyarakat hendaknya dilakukan kajian secara mendalam, sejauh mana kesiapan masyarakat dan pemerintah untuk menyelenggarakannya. Mengingat partisipasi masyarakat yang masih sangat minim terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, apalagi hal ini merupakan pemilihan Kepala Daerah.
Penulis :           Nabella P. Rani, SH., MH
                        Tenaga Pengajar IP FISIP Universitas Abdurrab



Tidak ada komentar:

Posting Komentar