Sejak
lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 Otonomi Daerah telah
menjiwai ketatanegaraan Indonesia. Bukti realitasnya beberapa Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah berotonomi telah diterbitkan, menyusul dan
berorientasi kepada perkembangan sosial politik yang terjadi di wilayah dan
daerah-daerah di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) dekade. Masyarakat
tentunya menghendaki agar negara dikelola dan diurus oleh pemerintahan yang
baik. Alasannya sederhana, pemerintahan yang baik (good governance) senantiasa berbuat yang terbaik bagi rakyat dan
bangsanya, yaitu berupaya memikirkan bagaimana agar rakyat yang dipimpinnya
dapat hidup lebih sejahtera dan bangsanya mempunyai martabat di tengah-tengah
pergaulan bangsa yang lain.
Pemerintahan yang baik memiliki komitmen yang jelas,
bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya bersifat responsif, populis dan
visioner dengan selalu berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, dan bukan
malah sebaliknya sibuk memikirkan urusan sendiri atau kelompoknya agar tampuk
kekuasaannya dapat terus bertahan lebih lama. Karena kalau hal itu yang
terjadi, maka segala cara akan ditempuh demi kekuasaan, termasuk perilaku KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) terutama di kalangan para pemimpin dan elit
politik menjadi semakin subur dan meluas. Akibatnya di sisi lain kehidupan
rakyat menjadi semakin terpuruk, apalagi ditengah-tengah terpaan krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Rakyat menjadi kecewa kepada sikap dan perilaku para elit
politik dan pemimpinnya yang dianggap tidak peduli lagi terhadap kepentingan
rakyat. Sehingga rakyat melakukan penolakan dan perlawanan terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam suatu negara demokrasi, apabila jalur dialog
dan diplomasi dianggap kurang berhasil, maka tuntutan rakyat kepada penguasa
dalam bentuk demonstrasi merupakan salah satu cara yang cukup populer dan
efektif dalam upaya menekan dan memperjuangkan suatu tujuan tertentu. Seperti
yang terjadi beberapa waktu yang lalu, aksi demonstrasi begitu merebak di
berbagai kota di Indonesia terutama dari kalangan mahasiswa dan berbagai elemen
masyarakat, yaitu menolak kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak
kepada rakyat.
Disahkannya Rancangan Undang-Undang Kepala Daerah
(RUU Pilkada) mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat yang pada
akhirnya mengerucut pada pro dan kontra. Banyak pihak yang merasakan adanya
kemunduran demokrasi jika Pemilihan Kepala Daerah di kembalikan ke Lembaga
Perwakilan Rakyat. Hanya saja, seperti yang kita ketahui bahwa bentuk dari
Demokrasi itu ada dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung
(Perwakilan).
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tidak mengharuskan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dipilih secara
langsung oleh rakyat atau melalui Lembaga Perwakilan Rakyat (tidak langsung).
Rumusan Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat merupakan tafsiran
Pemerintah yang meniru sistem Pemilihan Presiden.
Beragam istilah demokrasi yang kita kenal,
diantaranya adalah demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi
terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi
nasional, dan lain sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang
menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu
demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai
sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan.
Di kebanyakan negara demokrasi di dunia barat,
pemilu dianggap sebagai lambang, sekaligus tolok ukur, dari demokrasi. Hasil
pemilu yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan
berpendapat dan kebebasan berserikat, di anggap dengan agak akurat mencerminkan
partisipasi serta aspirasi masyarakat. Sekalipun demikian disadari bahwa pemilu
tidak merupakan satu-satunya tolok ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti
partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying,
dan sebagainya.
Dengan adanya wacana mengenai pemilihan Kepala
Daerah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, membutuhkan
perhatian yang sangat mendasar terhadap unsur politik dan hukum di Indonesia.
Hal ini yang juga menimbulkan pro-kontra pada kalangan masyarakat. Alasan
mengenai efesiensi waktu dan biaya di rasakan cukup masuk akal, mengingat
kebanyakan Pemilihan Kepala Daerah saat ini selalu terjadi dua kali putaran.
Hanya saja perubahan mekanisme pemilihan Kepala
Daerah tersebut, “dirasakan” mengakibatkan terjadinya kemunduran demokrasi di
Indonesia. Dengan alasan pemilihan Kepala Daerah oleh rakyat yang selama ini
dilaksanakan sejatinya merupakan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi di
daerah, dan menjadi jawaban atas gagalnya proses Pemilihan Kepala Daerah yang
selama ini dilakukan oleh DPRD. Sebab terjadinya money politics dalam proses Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD sulit
dihindari. Dengan adanya membeli suara lebih dari setengah anggota DPRD, calon
yang bersangkutan akan terpilih menjadi Kepala Daerah. Jika demikian, maka
Pemilihan Kepala Daerah tidak berbeda dengan proses lelang, siapa yang
memberikan penawaran terbesar, dialah yang menang. Begitu juga dari sisi
akuntabilitas, Kepala Daerah yang dipilih oleh beberapa gelintir anggota DPRD
cenderung mendahulukan kepentingan pemilihnya ketimbang masyarakatnya.
Pesimisme
seperti ini dapat dimaklumi mengingat selama ini banyak anggota DPRD yang tidak
menyuarakan kepentingan rakyatnya atau menurut Katjung Maridjan telah terjadi
pembajakan kekuasaan rakyat oleh sebagian wakilnya di DPRD. Lebih jauh pihak
yang kontra juga menilai Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD tidak mencerminkan
kedaulatan rakyat. Karena masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi
misi para calon Kepala Daerah mereka.
Mengenai
pemilihan Kepala Daerah jika dikaitkan dengan Sila ke-4 Pancasila, maka
pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD merupakan pilihan yang tepat.
Indonesia merupakan salah satu negara yang ingin mengembangkan beberapa ciri
khasnya (gotong royong dan musyawarah untuk mencapai mufakat) dalam kehidupan bermasyarakat.
Keinginan ini tercermin dalam pasang surutnya persepsi kita mengenai wewenang
dan peran DPR mulai dari masa Proklamasi Kemerdekaan sampai sekarang, begitu
juga dengan DPRD. Dengan alasan, selama ini semenjak Kepala Daerah dipilih
langsung oleh masyarakat, antara Legislatif dengan Eksekutif sering berjalan
masing-masing. Akan tetapi, seperti yang kita ketahui fungsi legislatif itu
selain menjalankan fungsi legislator dan fungsi budgeter, juga menjalankan
fungsi pengawasan yaitu mengawasi pelaksanaan yang dilakukan oleh Eksekutif.
Jalan
atau tidaknya program yang dilakukan oleh eksekutif seharusnya
dipertanggungjawabkan, namun apabila pertanggungjawaban itu tidak
dipertanggungjawabkan ke DPRD maka DPRD tidak bisa menegur Eksekutif. Dengan
alasan, jika Gubernur dipilih langsung oleh masyarakat maka
pertanggungjawabannya kepada masyarakat.
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat yang terus bergulir di masyarakat
hendaknya dilakukan kajian secara mendalam, sejauh mana kesiapan masyarakat dan
pemerintah untuk menyelenggarakannya. Mengingat partisipasi masyarakat yang
masih sangat minim terhadap pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung, apalagi hal ini merupakan pemilihan Kepala Daerah.
Penulis : Nabella
P. Rani, SH., MH
Tenaga
Pengajar IP FISIP Universitas Abdurrab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar